Bambu, salah satu tanaman dengan pertumbuhan tercepat di dunia, telah lama dikenal sebagai material yang serbaguna. Kita dapat memanfaatkan setiap bagian dari tanaman bambu, dari pucuk hingga ke akarnya. Sejak 7 ribu tahun lalu, manusia telah menggunakan bambu untuk berbagai keperluan seperti bahan konstruksi, peralatan rumah tangga, hingga alat musik tradisional.
Selain untuk manusia, bambu juga bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya, bagi Bumi yang kita tinggali ini. Bambu telah menjadi kandidat potensial sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dapat menggantikan kayu dan mengurangi deforestasi. Sementara dari sisi pengurangan limbah, bambu juga menjadi material alternatif pengganti kaca, plastik, keramik, dan kaleng aluminium.
Mengapa Bambu disebut Ramah Lingkungan?
Dalam konteks sumber daya alam, bambu adalah salah satu tanaman yang paling ramah lingkungan. Bambu memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer, menjadikannya penyerap karbon alami yang sangat efektif. Hal ini berhubungan langsung dengan tujuan dari program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sebuah inisiatif global yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan.

Efektivitas bambu dalam menyerap karbon bukan satu-satunya alasan material ini disebut ramah lingkungan. Ada beberapa poin yang menjadikan bambu memiliki manfaat besar pada keberlangsungan lingkungan hidup.
- Pertumbuhan yang cepat
- Dibandingkan pohon kayu keras yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk tumbuh, bambu hanya memerlukan waktu 3-5 tahun sampai bisa dipanen. Siklus pertumbuhan bambu yang cepat ini menjadikannya sebagai sumber daya yang terbarukan.
- Tergantung pada spesies dan kondisi tanahnya, beberapa jenis bambu dapat tumbuh hingga 100 cm per hari. Bambu gombong (Gigantochloa verticillata) misalnya, dapat mencapai ketinggian 30 meter dengan diameter buluh sekitar 5-15 cm.
- Efektif menyerap karbon dan menghasilkan oksigen
- Sebagai tanaman hijau, bambu memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) dan melepaskan oksigen lebih banyak dibandingkan pohon pada umumnya. Hal ini membantu menurunkan emisi karbon dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
- Data kuantitatif tentang seberapa banyak karbon yang dapat diserap oleh bambu memang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti spesies bambu, kondisi lingkungan, dan metode pengukuran yang digunakan dalam penelitian.
- Namun, sebagai bayangan, bambu parring (Gigantochloa atter) dapat menyerap karbon dioksida sebesar 31,33 ton/hektar/tahun (Baharuddin 103). Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.) di hutan rakyat memiliki cadangan karbon sebesar 31,50 ton per hektar (Malau et al. 23).
- Revitalisasi mata air
- Bambu memiliki akar serabut dan akar rimpang yang sangat kuat. Mampu menyerap air hujan sebanyak 90%, jauh lebih tinggi jika dibandingkan pepohonan lain yang hanya mampu menyerap air sebanyak 30-40%.
- Rehabilitasi lahan kritis
- Bambu mampu tumbuh di lahan yang miskin nutrisi, bahkan di daerah yang terkena erosi. Akar bambu yang kuat membantu menstabilkan tanah dan mencegah erosi, sekaligus meningkatkan kualitas tanah dengan menambahkan bahan organik.
- Walau begitu, karena laju pertumbuhannya, bambu juga dapat berpotensi invasif apabila tidak dikendalikan.
- Penggunaan yang luas dan berkelanjutan
- Bambu dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti konstruksi, furnitur, tekstil, hingga peralatan dapur. Produksi barang berbasis bambu biasanya memerlukan energi yang lebih rendah dibandingkan material seperti plastik atau logam, sehingga menghasilkan emisi karbon yang lebih kecil.

(Oleh id:User:Blue tooth7 – Karya sendiri, CC BY 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=117918375)
- Pengganti plastik
- Produk berbasis bambu, seperti sedotan, sikat gigi, dan peralatan makan, menjadi alternatif yang ramah lingkungan terhadap plastik sekali pakai. Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak buruk plastik bagi lingkungan, bambu menawarkan solusi yang dapat terurai secara alami.
- Tidak pembutuhkan pestisida atau pupuk kimia
- Bambu tumbuh secara alami tanpa memerlukan pestisida atau pupuk kimia, sehingga mengurangi potensi pencemaran air tanah. Hal ini menjadikannya pilihan yang lebih ekologis dibandingkan tanaman lain yang memerlukan bahan kimia untuk pertumbuhan.
- Minim limbah
- Hampir seluruh bagian bambu dapat digunakan, dari batangnya hingga daunnya. Limbah dari bambu pun bersifat biodegradable, sehingga tidak mencemari lingkungan.
Baca juga: Para Pengrajin Perempuan: Penjaga Tradisi, Penggerak Ekonomi
Bambu Mudah Diurai Tanah
Plastik memerlukan waktu 10-500 tahun agar dapat diurai oleh tanah, beberapa jenis plastik seperti styrofoam bahkan tidak dapat diurai sama sekali. Sedangkan bambu dapat diurai dalam waktu beberapa minggu hingga 10 tahun, tergantung ukuran dan bahan yang melapisinya.
Hal ini karena bambu termasuk bahan alami yang biodegradable. Artinya, bambu dapat terurai oleh mikroorganisme di lingkungan tanpa meninggalkan limbah berbahaya, sehingga tidak mencemari tanah atau air.
- Komposisi alami
- Bambu terdiri dari serat organik seperti selulosa dan lignin, yang dapat dipecah oleh mikroorganisme di dalam tanah.
- Waktu penguraian
- Dalam kondisi alami (tanah yang lembap dan banyak mikroba), bambu dapat terurai dalam waktu beberapa minggu hingga beberapa tahun, tergantung pada ukurannya dan proses perlakuan sebelumnya (seperti pelapisan bahan kimia).
- Tanpa bahan sintetis
- Bambu murni tidak mengandung bahan sintetis atau plastik, sehingga proses dekomposisinya tidak meninggalkan residu berbahaya di lingkungan.
- Pengomposan
- Potongan kecil bambu dapat diolah menjadi kompos, terutama jika dihancurkan terlebih dahulu untuk mempercepat proses dekomposisi.
Namun, jika bambu telah diproses atau dilapisi dengan bahan kimia (seperti cat atau resin), waktu penguraiannya bisa lebih lama dan membutuhkan perlakuan khusus. Oleh karena itu, bambu murni tanpa perlakuan kimia lebih ramah lingkungan.
Karena karakteristiknya yang ramah lingkungan itu, bambu sering kali disebut-sebut sebagai “material alternatif”. Ironis memang, mengingat bambu sudah menjadi bagian dari peradaban manusia jauh sebelum material-material modern ada.
Meskipun demikian, upaya berbagai pihak baik lokal maupun global dalam pemanfaatan bambu guna melindungi Bumi patut ditiru dan diapresiasi. Bambu sebagai bahan utama atau substitusi, hal itu sudah tak penting lagi. (eL)
Sumber referensi:
- Yuen, Jia Qi, et al. “Carbon stocks in bamboo ecosystems worldwide: Estimates and uncertainties.” Forest Ecology and Management, vol. 393, 2017, pp. 113-138. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2017.01.017.
- Xu, Xiaoxiao, et al. “Bamboo construction materials: Carbon storage and potential to reduce associated CO2 emissions.” Science of The Total Environment, vol. 814, 2022, pp. 152-197. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2021.152697.
- Malau, Sihol Marito, Muhdi Muhdi, dan Irawati Azhar. “Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurz.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.” Peronema Forestry Science Journal, vol. 5, no. 2, 2016, Program Studi Kehutanan USU.
- Arinah, H., M. Muhdi, and I. Azhar. “Pendugaan Cadangan Karbon pada Tanaman Bambu Talang (Schizostachyum brachycladum Kurz.) di Hutan Rakyat Bambu Desa Pertumbukan Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat.” Peronema Forestry Science Journal, vol. 5, no. 2, 2016, pp. 34-48.
- Baharuddin. Analisis Potensi Tegakan Bambu Parring (Gigantochloa atter) sebagai Penyerap dan Penyimpan Karbon: Studi Kasus Pengelolaan Hutan Bambu Rakyat di Tanralili Kabupaten Maros. Universitas Hasanuddin, 2013. Dissertation.
- Howard, Brian Clark. “Bamboo’s Ability to Store Carbon Called Into Question.” National Geographic, 24 Mar. 2016, http://www.nationalgeographic.com/science/article/160324-bamboo-materials-carbon-dioxide-emissions-sequestration.
- Suriyani, Luh De. “Kala Data Bambu Indonesia Masih Minim.” Mongabay, 19 Feb. 2023, https://www.mongabay.co.id/2023/02/19/kala-data-bambu-indonesia-masih-minim/. Diakses pada 5 Des 2024.