Memukul anak sebagai bentuk disiplin telah menjadi topik yang kontroversial dan sering diperdebatkan. Beberapa orang tua percaya bahwa hukuman fisik adalah cara efektif untuk mendidik anak dan mengajarkan disiplin. Namun, banyak pula orang tua, pakar, dan organisasi perlindungan anak yang menentang praktik ini, menganggapnya sebagai bentuk kekerasan yang dapat berdampak negatif pada perkembangan anak.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), hingga Oktober 2024, terjadi 15.027 kasus kekerasan terhadap anak. Dengan rincian 9.117 kasus kekerasan seksual, 3.748 kekerasan fisik, dan 3.698 kekerasan psikis. Sebanyak 7.952 kasus terjadi di rumah dan sebagian besar pelakunya adalah orang tua.
Dengan data ini, jelas bahwa kekerasan pada anak adalah masalah serius yang perlu segera ditangani. Penerapan pendekatan yang tidak melibatkan kekerasan fisik adalah penting untuk memastikan perkembangan anak yang sehat dan bahagia.
Pro dan Kontra
Para orang tua dan pakar memiliki pendapat berbeda terkait memukul anak sebagai cara untuk mendisplinkan mereka.
- Pandangan yang Mendukung Hukuman Fisik
Pendukung hukuman fisik berpendapat bahwa memukul anak dapat memberikan efek jera dan membantu anak memahami konsekuensi dari perilaku buruk. Mereka percaya bahwa, jika dilakukan dengan cara yang terkendali dan tidak berlebihan, hukuman fisik dapat menjadi alat yang efektif untuk mendisiplinkan anak.
- Pandangan yang Menentang Hukuman Fisik
Sebaliknya, banyak orang tua, pakar perkembangan anak, dan psikolog yang menentang hukuman fisik. Mereka berpendapat bahwa memukul anak dapat menyebabkan trauma emosional dan fisik, serta mengajarkan anak bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan masalah. Menurut American Academy of Pediatrics, hukuman fisik dapat menyebabkan peningkatan agresi, perilaku antisosial, dan masalah kesehatan mental pada anak.
Alternatif Metode untuk Mendisiplinkan Anak
Ada banyak metode disiplin yang efektif dan tidak melibatkan kekerasan fisik. Beberapa di antaranya termasuk:
- Konsekuensi, bukan hukuman
Hal pertama yang perlu dikomunikasikan pada anak adalah penggunaan istilah. Gunakan istilah “konsekuensi” yaitu akibat dari sebuah perbuatan. Hindari menggunakan istilah “hukuman” sebab hukuman cenderung berkonotasi negatif dan menyiratkan adanya tindakan pembalasan. Sebaliknya, konsekuensi membantu anak memahami bahwa setiap tindakan memiliki akibat, baik positif maupun negatif, yang harus mereka terima.
- Mengomunikasikan aturan
Anak-anak adalah sebuah kanvas kosong. Pemahaman mereka tentang dunia dan segala macam aturannya belum terbentuk dengan sempurna. Maka sebelum menerapkan disiplin, pastikan dulu mereka tahu dan paham aturan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.
Misalnya, di rumah Anda ada aturan jam malam untuk anak-anak. Pastikan mereka mengerti mengapa aturan ini ada, yaitu untuk menjaga keselamatan mereka dan memastikan mereka mendapat cukup istirahat. Jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga mereka merasa aturan tersebut masuk akal dan penting untuk diikuti.
- Mendorong pemahaman, dan pembelajaran
Setiap manusia memiliki common sense, tak terkecuali anak-anak. Tetapi kemampuan ini perlu diasah dan dibimbing agar berkembang dengan baik. Kadang, anak-anak tidak mengerti bahwa apa yang mereka lakukan itu salah atau melanggar aturan.
Sebelum memberikan konsekuensi, coba tanya dulu apakah mereka tahu bahwa yang mereka lakukan itu salah? Tanya juga alasan kenapa mereka melakukannya. Dengan begini kita dapat mengasah common sense mereka sekaligus memahami proses berpikir anak.
- Time-out
Time-out adalah metode mendisiplinkan anak dengan cara memberikan mereka waktu untuk merenung dan menenangkan diri. Tempatkan anak di sudut ruangan tanpa distraksi dan interaksi, tetapi tak selalu harus berdiri menghadap dinding.
Durasi time-out sebaiknya disesuaikan dengan usia anak. Sebagai panduan umum:
- Anak usia 2-3 tahun: 1-3 menit.
- Anak usia 4-6 tahun: 3-5 menit.
- Anak usia 7-9 tahun: 5-7 menit.
- Anak usia 10 tahun ke atas: 7-10 menit.
Hindari menempatkan anak di ruangan yang ia takuti, misalnya di ruangan sempit atau gelap. Selain akan membuat mereka merasa frustrasi dan terisolasi, itu juga dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan.
- Memberi Kesempatan untuk Memperbaiki Kesalahan
Setelah anak memahami konsekuensi dari tindakannya, langkah selanjutnya adalah mengajak dan membimbing mereka untuk memperbaiki dampaknya. Misalnya, jika anak menumpahkan minuman, berikan mereka kain lap atau tisu dan ajari cara membersihkannya.
Memberikan kesempatan kepada anak untuk membereskan masalah yang mereka ciptakan sendiri adalah cara yang efektif untuk mengajarkan tanggung jawab. Mereka belajar bahwa setiap tindakan memiliki dampak, dan penting untuk menyelesaikan masalah yang mereka timbulkan.
Baca juga: Plus dan Minus Sekolah Alam
- Mengurangi Fasilitas
Mengurangi fasilitas adalah salah satu bentuk konsekuensi yang bisa diterapkan jika anak melanggar aturan. Ini membantu anak memahami bahwa perilaku mereka memiliki dampak langsung pada hak-hak dan fasilitas yang mereka nikmati sehari-hari.
Bila anak melanggar aturan, kita bisa mengurangi uang jajan, melarang menonton televisi, mengurangi penggunaan gadget, atau mengurangi waktu bermainnya. Dengan begini, anak akan belajar untuk lebih menghargai hak dan fasilitas yang mereka miliki, serta memahami pentingnya mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
- Evaluasi perilaku anak
Sama seperti orang dewasa dan manusia pada umumnya, anak-anak juga bisa mengulangi kesalahan yang sama. Maka, evaluasi perilakunya. Bisa saja anak sengaja melanggar aturan untuk menarik perhatian atau mengomunikasikan sesuatu yang tak bisa mereka katakan.
Apabila terdapat perilaku yang mengkhawatirkan, pertimbangkan untuk meminta bantuan ahli. Misalnya psikolog anak atau guru BK di sekolahnya.
- Berikan apresiasi
Beri anak apresiasi apabila mereka mematuhi aturan, telah memperbaiki kesalahan, atau tindakan terpuji lainnya. Dengan memberikan apresiasi, anak-anak akan mengerti bahwa disiplin dan perilaku baik mereka dihargai dan diakui.
Pujian dan penghargaan membantu meningkatkan motivasi anak untuk terus berperilaku baik. Misalnya, beri pujian ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas rumah tepat waktu atau menunjukkan sikap sopan kepada orang lain. Apresiasi yang tulus akan membuat anak merasa dihargai dan termotivasi untuk mempertahankan perilaku positif mereka.
Tidak pernah ada formula yang benar-benar tepat dalam mendidik anak karena setiap anak adalah unik. Namun, memukul anak sebagai bentuk disiplin adalah metode yang tidak disarankan sebab berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mentalnya.
Terlepas dari pro dan kontra para orang tua, seharusnya kita lebih fokus pada kesejahteraan dan hak asasi anak. Mereka berhak memiliki lingkungan kondusif untuk tumbuh dan berkembang, bukan rumah dan orang tua abusive yang membuat mereka takut untuk pulang. (eL)