Bambu telah menjadi sahabat manusia sejak ribuan tahun silam. Material ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari senjata, perlengkapan rumah tangga, kerajinan tangan, tempat penyimpanan, hingga alat musik.
Itu pulalah yang dilakukan RING’GO, sebuah sanggar seni yang terletak di Kampung Cikarmajaya, Cicalengka, Jawa Barat. RING’GO memanfaatkan bambu sebagai material utama untuk membuat alat musik seperti karinding dan seruling.
Selain alat musik yang memang terbuat dari bambu, RING’GO juga mengeksplorasi dan menghasilkan alat-alat musik lain yang asalnya terbuat dari bahan lain menjadi terbuat dari bambu seperti gamelan bambu dan piano bambu atau disebut piwi (piano awi).
Bermula dari Rasa Cinta

RING’GO dibentuk pada Maret 2010 atas dasar kecintaan Ago Purnama, pemilik sanggar, terhadap karinding—alat musik pertama yang ia mainkan. Diinisiasi oleh tiga orang yang sama-sama mencintai kesenian: Ago, Bah Anang (ayahnya), dan Iwan Cabul (Caang Bulan).
Menurut Ago, kata RING’GO sendiri berasal dari kata ring dan go. Ring diartikan sebagai lingkaran sedangkan kata go diartikan sebagai bergerak maju. Jadi RING’GO berarti lingkaran kehidupan, selalu bergerak maju, bahwa bambu juga telah menjadi semacam kehidupan di tengah masyarakat.
“Saya memang agak susah memberi nama, tapi kata RING’GO adalah nama paling tepat. Karena bumi ini juga kan bulat, melingkar, dan seperti itulah hidup. Kadang ada di bawah, kadang ada di atas. Bambu sendiri merupakan salah satu sumber daya yang disediakan alam. Nah, ketika dipadukan dengan kata lingkaran itu, maka ada unsur keseimbangan antara hidup dan alam,” jelas Ago kepada Rumpun Indonesia ketika menjelaskan asal-usul nama sanggar.

RING’GO mengembangkan berbagai alat musik bambu yang telah dieksplorasi secara mendalam. Selain alat musik seperti karinding, celempung baduy, celempung goong, haliwung calung, saluang, dan goong tiup, sanggar ini juga menciptakan celempung renteng, saron bambu, gamelan bambu, hingga piano bambu. Saat ini, RING’GO juga sedang bereksperimen dengan pembuatan alat musik seperti gitar, biola, dan karinding dari daun kawung.
Dari Sanggar Menjadi Ruang Belajar
Bermula dari keprihatinan Ago terhadap generasi muda sekitar yang tidak produktif bahkan banyak terjebak ke dalam tindak kejahatan seperti geng motor, maka RING’GO berkembang menjadi tempat belajar dan pelatihan.
Di sanggar, peserta tidak hanya belajar memainkan alat musik bambu dan menyanyikan nembang, tetapi juga dilatih membuat alat musik dan menciptakan komposisi musik sendiri. Pengajaran dipimpin oleh Ago, pemain karinding dari grup musik Mapah Layung, bersama Bah Anang, Ibu Ago yang merupakan sinden Jaipongan, serta beberapa seniman senior dari Cicalengka seperti Bah Endin dan Mang Pipin yang sengaja didatangkan.

Dari sanggar ini pulalah terbentuk grup musik yang dinamai Sadulur. Mereka telah tampil di acara-acara sekolah, MUNAS PPI (Pelajar Islam Indonesia) di Gedung Indonesia Menggugat, Minangkala LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) di UIN SGD Bandung, dan di ulang tahun PBHC (Pemuda Pemudi Bumi Harapan Community). RING’GO sendiri sudah pernah bertarsipasi dalam pameran sekaligus workshop yang diadakan oleh Disnakertrans Jawa Barat.
RING’GO tidak memungut biaya apa pun selain komitmen dan konsistensi dalam latihan. Para peserta diajari tidak hanya teknik bermain dan membuat alat musik, tetapi juga diberi pengetahuan tentang sejarah alat yang mereka gunakan. Suasana di sanggar sengaja dibuat nyaman, dengan seringnya diadakan diskusi bebas. Bahan-bahan untuk membuat alat musik bambu diperoleh dari hasil penjualan, sementara sisanya diambil dari alam. Oleh karena itu, Ago sering mengajak murid-muridnya untuk berjalan ke hutan, mencari bambu, dan berinteraksi langsung dengan alam.
Hingga hari ini, ada empat belas orang yang menjadi peserta pelatihan, laki-laki dan perempuan. Yang paling kecil berusia dua belas tahun dan yang paling besar lima belas tahun. Sekitar kelas 6 SD sampai kelas 3 SMP. Karena hampir semua peserta pelatihan masih dalam usia sekolah, maka proses belajar rutin dilakukan setiap hari Minggu atau hari libur. Meski demikian, sesekali banyak juga para mahasiswa ataupun umum yang datang untuk belajar.
“Ingin seperti Aa Ago, menjadi seniman dan bisa berkreasi,” jelas Mahmud, siswa kelas 6 SD Negeri III Cicalengka ketika ditanya alasan kenapa ia mau belajar di sanggar.
Alat musik yang dihasilkan di sanggar bisa digunakan sendiri atau dijual untuk menambah uang jajan peserta. Selain dilatih untuk berpikir kreatif, mereka juga diajarkan untuk produktif. Ago sengaja menanamkan nilai kemandirian kepada para peserta didiknya. Semua hasil penjualan digunakan untuk membantu biaya sekolah peserta, sementara operasional sanggar sepenuhnya ditanggung oleh sanggar, yang dibiayai dari hasil penjualan alat musik yang dibuat oleh Ago dan Bah Anang.
“Karena seniman itu harus bisa membuat selain bisa memainkan, makanya mereka juga tertarik membuat sendiri alat-alat yang mereka mainkan,” tambah Ago.
Tantangan Ada, Tetapi Semangat Tetap di Dada
Sebagai sanggar pelatihan nirlaba, RING’GO tentu menghadapi berbagai hambatan, salah satunya masalah dana. Selain itu, lingkungan sekitar yang bukan berbasis seni juga menjadi tantangan tersendiri. Meskipun begitu, Ago merasa pesimis terhadap bantuan pemerintah karena menurutnya, sanggar ini tetap bisa berdiri dan berkembang meski tanpa dukungan tersebut. Baginya, mengajukan permintaan dana ke pemerintah terlalu rumit, dengan banyak konsep dan prosedur yang harus dilalui, sementara ia lebih memilih berfokus pada praktik dan bekerja daripada berbicara.
“Kadang ada juga hambatan dari orang tua murid, karena mereka tidak tahu kalau anaknya di sini itu belajar bermusik dan membuat alat musik. Dikiranya hanya bermain-main sehingga mereka melarang,” kata Bah Anang.
Pendar-Pendar Harapan
Ago berharap sanggarnya bisa terus berkembang, menampung lebih banyak peserta pelatihan, dan menciptakan lebih banyak alat musik inovatif. Ia ingin RING’GO menjadi tempat yang lebih luas untuk mendukung kreativitas, tempat seni tidak hanya dilestarikan tetapi juga dikembangkan.
Lebih dari itu, Ago berharap agar RING’GO tetap menjadi nyala bagi lingkungan sekitarnya. Menjadi ruang belajar bagi anak-anak, wadah diskusi bagi para pecinta seni, dan tempat berkumpul yang hangat bagi siapa saja yang ingin menyelami keindahan musik bambu. Menjadikan RING’GO sebagai simbol harapan dan keberlanjutan seni tradisional di tengah perubahan zaman.
“Saya bukan guru, saya hanya ingin berbagi ilmu,” katanya.
Sanggar-sanggar seperti RING’GO yang berbasis kesenian dan pendidikan alternatif ini sayangnya masih luput dari perhatian. Padahal kontribusi RING’GO cukup besar bagi para peserta didiknya. Terbukti dengan banyaknya para pemuda yang ‘terselamatkan’ dari kenakalan remaja bahkan tindak kriminal setelah mereka berada dalam lingkaran RING’GO.
Ago dan RING’GO hanyalah satu potret dari sekian banyak penggiat seni yang bergerak dalam kesunyian. Meski seperti yang Ago katakan, ia tak begitu mengharapkan bantuan, tapi pantaskah ia berjalan sendirian? (eL)